IHSG Ngegas Pecah Rekor! Lanjut Naik Minggu Depan? Intip Prediksi Ahli!

Table of Contents

Halo, Sobat Investor! Gimana kabar portofolio kalian? Pasti lagi senyum lebar nih, apalagi kalau ngikutin pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) seminggu terakhir. Pasar saham Tanah Air kita baru saja mencatatkan kinerja yang super gemilang, bahkan IHSG sukses banget mencetak rekor-rekor tertinggi sepanjang sejarah! Gokil, kan?

Grafik IHSG pecah rekor

Pada penutupan perdagangan Jumat, 19 September 2025 lalu, IHSG ditutup melesat 0,53% di level 8.051,12. Angka ini bukan sembarang angka, lho! Ini adalah penutupan perdagangan IHSG tertinggi sepanjang masa. Sebelumnya, di perdagangan intraday Kamis, 18 September 2025, IHSG sempat menembus level 8.068,01. Meskipun akhirnya sedikit terkoreksi sebelum ditutup, performa ini tetap bikin kita semua bangga dan optimis! Total dalam seminggu, IHSG sudah berhasil menguat sekitar 2,51%. Sebuah pencapaian yang luar biasa dan patut diacungi jempol. Ini menunjukkan kepercayaan investor terhadap ekonomi Indonesia masih sangat kuat.

Hati-hati! IHSG Rawan Koreksi di Pekan Depan?

Nah, setelah seminggu penuh euforia dan penguatan yang tajam ini, ada satu hal yang perlu kita perhatikan baik-baik. IHSG punya potensi cukup rawan koreksi di pekan depan. Kenapa begitu? Salah satunya karena sentimen dari dalam negeri di pekan depan cenderung sepi. Artinya, tidak banyak agenda ekonomi besar atau kebijakan baru yang bisa mengerek pasar lebih tinggi lagi.

Selain itu, pekan depan itu sudah masuk tanggal tua, lho! Kalian tahu sendiri kan, tanggal tua itu biasanya identik dengan kantong yang mulai menipis. Banyak investor ritel yang mengandalkan gaji bulanan untuk investasi, mungkin perlu sedikit jeda untuk reinvestasi sambil menunggu gajian berikutnya. Jadi, wajar kalau ada aksi profit taking alias ambil untung oleh sebagian investor setelah kenaikan signifikan ini. Namun, bukan berarti pasar akan anjlok parah, hanya saja potensi koreksi wajar bisa terjadi. Ini adalah siklus alami dalam dunia investasi, jadi jangan terlalu panik ya!

Data Penting yang Wajib Dipantau: Ekonomi Global dan Domestik!

Meskipun sentimen domestik cenderung sepi, bukan berarti kita bisa santai-santai saja. Ada beberapa data penting dari dalam dan luar negeri yang bisa banget memengaruhi pergerakan IHSG di pekan depan. Yuk, kita bedah satu per satu!

Uang Beredar RI Agustus: Kunci Likuiditas Ekonomi

Pada Selasa, 23 September 2025, Bank Indonesia (BI) bakal merilis data uang beredar (M2) untuk periode Juli 2025. Data ini penting banget karena bisa jadi cerminan seberapa besar likuiditas yang beredar di perekonomian kita. Sebelumnya, pada Juli 2025, likuiditas atau uang beredar dalam arti luas (M2) tumbuh lebih tinggi, lho. Angkanya mencapai 6,5% (yoy), naik dari Juni 2025 yang sebesar 6,4% (yoy), dengan total Rp9.569,7 triliun.

Pertumbuhan ini didorong oleh kenaikan uang beredar sempit (M1) sebesar 8,7% (yoy) dan uang kuasi sebesar 4,8% (yoy). Nah, yang menarik, perkembangan M2 di Juli 2025 ini terutama dipengaruhi oleh aktiva luar negeri bersih dan tagihan bersih kepada Pemerintah Pusat (Pempus). Aktiva luar negeri bersih tumbuh 7,3% (yoy), lebih tinggi dari bulan sebelumnya. Sementara itu, tagihan bersih kepada Pempus memang terkontraksi 6,2% (yoy), tapi kontraksinya lebih kecil dari Juni 2025 yang minus 8,2% (yoy). Penyaluran kredit juga tumbuh, meskipun sedikit melambat menjadi 6,6% (yoy) dari 7,6% (yoy) di bulan sebelumnya. Data Agustus nanti akan memberikan gambaran apakah tren pertumbuhan likuiditas ini berlanjut atau tidak. Jika uang beredar terus tumbuh, itu bisa jadi sinyal positif untuk konsumsi dan investasi, namun perlu diwaspadai juga potensi inflasi jika pertumbuhan terlalu agresif.

Suku Bunga China September: Kebijakan Hati-hati dari Tiongkok

Beralih ke ranah internasional, pada awal pekan Senin, 22 September 2025, Bank Rakyat China (PBoC) akan mengumumkan kebijakan suku bunga acuan pinjamannya (LPR) untuk periode September 2025. Kebijakan dari PBoC ini sangat diperhatikan oleh pasar global, termasuk Indonesia, mengingat betapa besar pengaruh ekonomi China.

Kabarnya, PBoC diperkirakan bakal mempertahankan suku bunga LPR satu tahun di 3,00% dan LPR lima tahun di 3,50%. Kenapa ditahan? Keputusan ini mencerminkan sikap hati-hati bank sentral China di tengah ketidakpastian ekonomi global dan melambatnya permintaan domestik mereka. Beda dengan The Federal Reserve AS yang beberapa waktu lalu memangkas suku bunga, PBoC sepertinya lebih memilih strategi bertahap untuk menjaga stabilitas keuangan dan memperkuat kepercayaan investor terhadap Yuan.

Suku bunga LPR ini sangat vital, lho. LPR satu tahun mempengaruhi pinjaman jangka pendek dan kredit konsumen, sementara LPR lima tahun mempengaruhi hipotek dan proyek investasi jangka panjang. Mei lalu, PBoC sempat memangkas kedua suku bunga ini sebesar 10 basis poin buat stimulus penyaluran kredit. Tapi, perlambatan produksi industri dan lemahnya permintaan domestik dalam beberapa bulan terakhir bikin PBoC harus ekstra hati-hati.

Menurut Biro Statistik Nasional China, produksi industri Agustus cuma tumbuh 0,3% year-on-year, penjualan ritel cuma naik 2,2%, dan pinjaman baru sektor swasta malah turun 15%. Angka-angka ini jelas menunjukkan aktivitas ekonomi yang melambat, makanya PBoC memilih untuk menahan suku bunga. Mereka juga mempertahankan stabilitas suku bunga repo terbalik tujuh hari di 1,40%, tujuannya buat menyediakan likuiditas ke bank tanpa menimbulkan stimulus ekonomi yang berlebihan.

Para ahli mencatat kalau China memang menghindari perubahan suku bunga yang tiba-tiba. Ini dilakukan untuk mencegah pinjaman spekulatif dan menstabilkan pasar valuta asing. Apalagi rasio utang terhadap PDB negara itu sudah lebih dari 280%, yang memperkuat alasan mereka untuk menerapkan kebijakan yang terukur. Ekonom seperti Larry Hu dari Macquarie bahkan memperkirakan kalau penyesuaian suku bunga bertahap dan dukungan kredit yang ditargetkan akan jadi instrumen utama stimulus ekonomi China ke depan. Tujuan utamanya sih menghindari overheating pasar sekaligus menjaga kepercayaan investor. Kalau ekonomi China goyang, dampaknya bisa terasa ke seluruh dunia, termasuk Indonesia sebagai salah satu mitra dagang utamanya.

PMI AS September: Barometer Kesehatan Sektor Bisnis Amerika

Selanjutnya, pada Selasa, 23 September 2025, Amerika Serikat (AS) akan mengumumkan data PMI Global S&P, baik untuk sektor Manufaktur maupun Jasa periode September 2025. PMI, atau Purchasing Managers’ Index, ini adalah indikator penting yang menunjukkan kesehatan sektor bisnis, mulai dari pesanan baru, produksi, ketenagakerjaan, hingga harga.

Sebelumnya, PMI Komposit AS Global S&P direvisi turun sedikit menjadi 54,6 pada Agustus 2025, dari estimasi awal 55,4. Ini juga di bawah level tertinggi tujuh bulan di bulan Juli (55,1). Pertumbuhan yang lebih lambat ini terutama mencerminkan moderasi aktivitas di sektor jasa AS (PMI di 54,5 vs 55,7 di Juli), meskipun output manufaktur justru meningkat pada laju tercepat sejak Mei 2022 (PMI di 53 vs 49,8). Secara keseluruhan, volume bisnis baru tumbuh paling kuat tahun ini, yang menghasilkan pertumbuhan lapangan kerja yang solid. Tekanan harga masih tinggi, tapi sedikit mereda sejak Juli.

Untuk PMI Manufaktur AS Global S&P sendiri berada di angka 53,0 per Agustus 2025. Angka ini menandakan peningkatan terkuat dalam kondisi operasional sejak Mei 2022. Produksi naik tercepat dalam lebih dari tiga tahun, sementara pesanan baru meningkat delapan bulan berturut-turut. Perusahaan-perusahaan banyak merekrut karyawan baru untuk mengurangi kendala kapasitas, dan persediaan barang jadi tumbuh paling cepat dalam setahun lebih. Dari sisi biaya, inflasi harga input meningkat, didorong sebagian oleh tarif. Biaya output juga naik karena perusahaan membebankan biaya yang lebih tinggi kepada klien. Meskipun prospeknya nggak pasti, kepercayaan bisnis terhadap output mendatang menguat dibandingkan Juli.

Sementara itu, PMI Layanan AS Global S&P turun menjadi 54,5 pada Agustus 2025. Ini dari level tertinggi tahun ini di 55,7 pada bulan sebelumnya, dan direvisi lebih rendah dari estimasi awal 55,4. Namun, angka ini masih sedikit di atas ekspektasi pasar awal. Volume bisnis baru tumbuh pada laju terkuat kedua sejak awal tahun, dengan perusahaan melaporkan peningkatan umum dalam permintaan, terutama di layanan keuangan. Ini sedikit mengimbangi perlambatan penyedia layanan konsumen yang terbebani tarif baru. Peningkatan bisnis baru mendorong perusahaan untuk terus menambah staf selama enam bulan berturut-turut.

Di sisi harga, biaya gaji yang lebih tinggi mendorong biaya operasional, sementara tarif menaikkan biaya input untuk industri tertentu. Ini memaksa perusahaan meneruskan biaya kepada klien, dengan inflasi biaya output bertahan mendekati level tertinggi 3 tahun. Ke depan, kekhawatiran inflasi dan kebijakan federal yang nggak pasti membebani sentimen bisnis. Data PMI ini penting banget buat memprediksi arah ekonomi AS, yang nantinya bisa mempengaruhi kebijakan The Fed dan sentimen pasar global.

Inflasi AS Agustus: Ancaman Buat The Fed?

Menjelang akhir pekan, AS juga akan merilis data inflasi periode Agustus 2025. Data ini super krusial karena bisa banget mempengaruhi keputusan The Federal Reserve (The Fed) soal suku bunga. Sebelumnya, inflasi sedikit lebih tinggi di bulan Juli, menurut ukuran inflasi pilihan The Fed, yaitu indeks harga pengeluaran konsumsi pribadi (PCE). Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan tarif yang diterapkan oleh Presiden AS Donald Trump mulai mempengaruhi perekonomian AS.

Indeks harga PCE inti, yang nggak termasuk biaya makanan dan energi, berada di tingkat tahunan yang disesuaikan secara musiman sebesar 2,9% pada Juli. Angka ini naik 0,1 poin persentase dari bulan Juni dan merupakan tingkat tahunan tertinggi sejak Februari, meskipun sejalan dengan perkiraan konsensus Dow Jones. Secara bulanan, indeks PCE inti meningkat 0,3%, juga sesuai ekspektasi. Indeks semua item menunjukkan tingkat tahunan sebesar 2,6% dan kenaikan bulanan sebesar 0,2%, juga sesuai perkiraan.

The Fed menggunakan indeks harga PCE sebagai alat utama mereka untuk meramalkan inflasi. Meskipun mereka memantau kedua angka (PCE inti dan total), para pembuat kebijakan menganggap inflasi inti sebagai indikator yang lebih baik untuk tren jangka panjang karena nggak dipengaruhi oleh angka gas dan bahan makanan yang fluktuatif. Para bankir sentral ini menargetkan inflasi di angka 2%, jadi laporan hari Jumat itu menunjukkan perekonomian masih jauh dari level yang dianggap nyaman oleh The Fed.

Meskipun begitu, pasar masih memperkirakan The Fed akan kembali menurunkan suku bunga acuannya ketika para pembuat kebijakan bertemu bulan depan. Gubernur The Fed, Christopher Waller, baru-baru ini menegaskan kembali dukungannya terhadap penurunan suku bunga, bahkan mengatakan bahwa ia akan mempertimbangkan langkah yang lebih besar kalau data pasar tenaga kerja terus melemah. Data inflasi Agustus ini akan jadi penentu apakah The Fed akan tetap pada rencana penurunannya atau mungkin akan menunda jika inflasi menunjukkan tanda-tanda membandel. Pengambilan keputusan The Fed ini jelas akan berimbas besar pada aliran dana investasi global, termasuk ke pasar modal Indonesia.

Potensi Pergerakan IHSG Minggu Depan: Tetap Waspada!

Dengan sederet data ekonomi penting yang akan dirilis dan potensi profit taking di tengah sentimen domestik yang sepi, pergerakan IHSG di pekan depan mungkin akan lebih bergejolak. Investor diharapkan tetap waspada dan membuat keputusan investasi berdasarkan analisis yang matang. Tidak ada salahnya untuk sedikit mengurangi risiko setelah kenaikan tajam atau setidaknya menyiapkan strategi untuk menghadapi potensi koreksi.

Ingat, investasi itu maraton, bukan sprint. Jangan tergiur dengan kenaikan sesaat, tapi juga jangan panik berlebihan saat ada koreksi. Tetap fokus pada tujuan investasi jangka panjang kalian dan selalu pantau perkembangan ekonomi, baik domestik maupun global.

Gimana nih pandangan kalian tentang IHSG dan data-data ekonomi yang bakal rilis? Kira-kira, IHSG bakal lanjut terbang tinggi atau malah ambil ancang-ancang dulu di pekan depan? Yuk, share opini kalian di kolom komentar di bawah!

Posting Komentar